Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun… Goenawan Mohammad dedengkot liberal yang aktif menjajakan faham marxisme dan menyuntikkan pemahaman yang merusak agama (Islam) justru dilibatkan dalam menyusun kurikulum pelajaran sastra di Indonesia.
Dunia pendidikan akan di bawa ke mana?
Keliberalan Goenawan Mohamad sudah sampai ke taraf mengkampanyekan pemikiran tokoh lesbian internasional, Irshad Manji. Hingga Irshad Manji, Pendiri Tempo Goenawan Mohamad dan Ketua Pengembangan Strategi dan Kebijakan DPP Partai Demokrat sekaligus petinggi Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdala, yang mengundang tokoh Lesbian Irshad Manji terpaksa dievakuasi. Ini karena acara bedah buku mereka yang mendukung Homoseks, Lesbian, dan perkawinan sesama jenis sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Nabi Luth.
Langkah polisi membubarkan acara diskusi peluncuran buku berjudul ‘Allah, Liberty and Love’ karya Irshad Manji di Komunitas Salihara, Jakarta Selatan, Jumat (4/5) malam, tidak menyalahi aturan. Kepolisian juga menyangkal jika pembubaran dilakukan di bawah tekanan organisasi masyarkat (ormas) yang mengatasnamakan agama Islam. (kabarislam, Mei 10, 2012).
Menungsa koyo ngono malah arep dipasrahi nyusun kurikulum sekolah, kuwi apa Indonesia arep didadekake edan kabeh? (Manusia seperti itu akan diserahi menyusun kurikulum sekolah, itu apakah Indonesia akan dijadikan gila semua?).
Coba dipertimbangkan dulu wahai Bapak Menteri Pendidikan Nasional… Bila tetap diteruskan, maka apakah tidak takut kepada ayat ini?
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ (١٠)
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ (١١)
أَلا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لا يَشْعُرُونَ (١٢)
10. Dalam hati mereka ada penyakit[23], lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.
11. dan bila dikatakan kepada mereka:”Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi[24]“. mereka menjawab: “Sesungguhnya Kami orang-orang yang Mengadakan perbaikan.”
12. Ingatlah, Sesungguhnya mereka Itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. (QA Al-Baqarah: 10-12).
[23] Yakni keyakinan mereka terdahap kebenaran Nabi Muhammad s.a.w. lemah. Kelemahan keyakinan itu, menimbulkan kedengkian, iri-hati dan dendam terhadap Nabi s.a.w., agama dan orang-orang Islam.
[24] Kerusakan yang mereka perbuat di muka bumi bukan berarti kerusakan benda, melainkan menghasut orang-orang kafir untuk memusuhi dan menentang orang-orang Islam.
Bila Bapak Menteri Pendidikan Nasional masih sayang-sayang kepada agamanya (Islam), dan merasa bertanggung jawab kepada generasi muda di Indonesia yang sedang mengenyam pendidikan, maka sebaiknya takut kepada ayat-ayat Allah Ta’ala, dan sayang-sayang kepada generasi kita agar jangan sampai diserahkan untuk dirusak orang. Itu bukan hanya berakibat untuk kehidupan di dunia ini, namun resikonya akan dibawa ke akherat kelak.
Berikut ini berita tentang dilibatkannya Goenawan Mohamad (bos Tempo yang pentolan liberal itu) dalam menyusun kurikulum. Di bagian bawah ada tulisan tajam mengenai betapa bahayanya sepak terjang Goenawan Mohamad yang anak tokoh Komunis itu.
***
Goenawan Mohammad Dilibatkan Susun Kurikulum Pelajaran Sastra
Selasa, 20 November 2012 | 06:47
Sastra akan masuk kurikulum dan diajarkan di sekolah-sekolah.
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan, Wiendu Nuryanti, mengatakan sastra akan masuk ke dalam kurikulum dan diajarkan di sekolah-sekolah.
“Bagi generasi muda, sastra itu sangat penting. Sesuai dengan apa yang disampaikan Ki Hajar Dewantara, tidak hanya olah nalar atau pikir saja yang diajarkan di sekolah. Tapi juga olah cipta dan rasa,” kata Wiendu, di Jakarta, Senin (19/11).
Saat ini Kemendikbud sedang melakukan penyusunan kurikulum dengan melibatkan para sastrawan, misalnya Goenawan Mohammad.
“Kami juga melakukan identifikasi buku-buku seni untuk anak-anak.” katanya.
Peran guru, lanjut Wiendu, sangat sentral dan ke depannya akan dilakukan peningkatan kapasitas dan kualitas.
Sastrawan Indonesia, Radhar Panca Dahana, mengatakan terdapat tiga hal pokok yang perlu diperhatikan dalam pengajaran sastra di sekolah seperti membaca, bercerita dan menulis.
“Guru Bahasa Indonesia perlu ditingkatkan kualitasnya,” kata Radhar.
Selain itu, para sastrawan perlu dihadirkan di sekolah-sekolah untuk memacu semangat siswa dalam mempelajari sastra.
Kemendikbud bekerja sama dengan Bale Sastra Indonesia juga menyelenggarakan Temu Sastra Indonesia di Galeri Nasional, Jakarta, Rabu (21/11). Acara itu juga melibatkan para guru, sastrawan, generasi muda, dan tokoh masyarakat.
Penulis: Didit Sidarta
Sumber:Antara/ beritasatu.com
***
Cara Goenawan Mohamad Pemimpin Tempo Jualan Marxisme dan Merusak Agama
BAGI yang belum tahu latar belakang Goenawan Mohamad (GM), mungkin terheran-heran dengan minatnya terhadap bacaan-bacaan dan pemikiran-pemikiran yang membincangkan soal Tuhan namun dengan orientasi yang meniadakan, meragukan, dan sejenisnya.
Cobalah sesekali kunjungi situs taman kembang pete yang memuat wawancara majalah porno Playboy edisi 16 April 2007 dengan Goenawan Mohamad (GM) (http://tamankembang pete.blogspot.com/2007/04/playboy-interview-goenawan-mohamad.html). Dari wawancara itu, antara lain bisa diketahui bahwa bapaknya GM adalah seorang tokoh Marxis yang berpengaruh di Pekalongan.
GM sendiri mengakui bahwa bapaknya kiri. “Iya, Bapak saya seorang kiri. Saya terlalu kecil waktu itu untuk mengerti. Kakak saya, Kartono, cerita dalam perpustakaan bapak saya itu Karl Marx isinya. Dia aktivis politik, pelopor kemerdekaan. Dia dibuang ke Digul bersama ibu saya. Pulang, tahun 1945, Belanda datang dia ditangkap, ditembak mati. Saya umur lima tahun ketika itu.”
Bahkan, melalui wawancara majalah porno tersebut, GM memposisikan orang-orang yang berpaham komunis setara dengan yang non komunis. Menurut GM, “Saya lihat orang-orang komunis sama patriotiknya dengan yang bukan komunis, sama-sama ingin membikin Indonesia lebih baik…” Begitu kata GM.
Lain yang dikata GM lain pula dalam kenyataan. Dan ternyata, patriotisme kaum yang berpaham komunis itu ditunjukkan –setidaknya– melalui dua kali kudeta, di tahun 1948 dan 1965, membunuhi ulama; juga mengolok-olok agama dan umat beragama, sebagaimana kini dilakukan oleh sebagian anasir JIL (Jaringan Islam Liberal) dan sejumlah mahasiswa kiri di UIN/IAIN.
Dalam salah satu catatan pinggirnya berjudul Atheis (30 Juli 2007), GM seperti sedang ‘membanggakan’ kitab bacaannya yang membincangkan keberadaan tuhan, antara lain God Is Not Great: Religion Poisons Everything karya penulis Inggris bernama Christopher Hitchens yang meyakini bahwa Tuhan tidak akbar dan bahwa agama adalah racun. Masih ada beberapa buku lainnya yang dibaca GM, meski tidak tuntas.
Bagaimana kesan GM setelah membaca buku-buku –yang tidak tuntas itu? Menurut GM, “… saya telah merasa setengah terusik, tersinggung, berdebar-debar, terangsang berpikir, tapi juga gembira…”
Sebuah potret perasaan yang membingungkan, dan boleh jadi mewakili kondisi psikis GM secara keseluruhan. Kalau membaca buku-buku seperti itu membuat GM terusik, tersinggung, berdebar-debar dan sebagainya, mengapa ia menyediakan waktu khusus untuk mengunyah-ngunyah sesuatu yang tidak bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat luas.
Bukankah akan lebih baik energi dan kekuatan berfikir GM dicurahkan membaca-baca buku bermanfaat, seperti cara menanam tomat yang baik, cara menanam padi yang baik, kemudian ditulis di majalahnya untuk dibaca dan diterapkan oleh orang lain?
Tapi, itu merupakan pilihan GM membaca buku-buku yang tidak ada manfaatnya bagi rakyat kebanyakan. Meski, GM setelah membaca buku-buku itu –dan tidak tuntas– ia merasa setengah terusik, tersinggung, berdebar-debar, terangsang berpikir, tapi juga gembira. Mengapa gembira? Karena, menurut GM, “…kini datang beberapa orang atheis yang sangat fasih dengan argumen yang seperti pisau bedah. Dengan analisa yang tajam mereka menyerang semua agama, tanpa kecuali, di zaman ketika iman dikibarkan dengan rasa ketakutan, dan rasa ketakutan dengan segera diubah jadi kebencian. Dunia tak bertambah damai karenanya. Maka siapa tahu memang dunia menantikan Hitchens, Harris, dan Dawkins. Siapa tahu para atheis inilah yang akan membuat kalangan agama mengalihkan fokus mereka dan kemudian berhenti bermusuhan.”
Jadi, GM gembira karena para penganut atheis telah hadir dengan pisau argumennya yang tajam dan menyerang semua agama, sehingga kehadirannya bagaikan Imam Mahdi dalam konsep syi’ah (bukan Imam Mahdi yang disabdakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) atau Lia Eden, yang memang ditunggu-tunggu dunia, bahkan siapa tahu para penganut atheis itu menjadi juru damai di antara penganut agama yang ‘gemar’ bertikai satu sama lain. Begitulah kira-kira konsepsi GM, sehingga ia gembira.
Bila para penganut agama cenderung bertikai satu sama lain, sehingga suara dan kehadiran para penganut atheis menjadi perlu; maka, bila pelaku pertikaian dan sumber pertikaian itu sendiri bukan penganut agama tetapi sebuah rezim, seperti rezim Bush menyerang Iraq, menyerang Afghanistan dan sebagainya bukan atas nama agama, maka isme apa yang ditunggu-tunggu untuk besuara dan hadir?
GM merusak Agama demi Atheisme
Beberapa bulan kemudian, GM kembali menunjukkan kebingungannya berkenanan dengan konsep ketuhanan, melalui tulisannya berjudul Tentang Atheisme Dan Tuhan Yang Tak Harus Ada sebagaimana dipublikasikan harian Kompas edisi 6 Oktober 2007. Antara lain dikatakan GM, “…Ketika kita mengatakan ‘Tuhan itu Satu’, kita sebenarnya telah menyekutukan-Nya…”
Mengapa demikian? Karena menurut GM, kata esa atau tunggal atau satu itu menunjuk kepada sesuatu yang dapat dihitung. Maka, jika “tuhan” dapat dihitung, Ia praktis setaraf dengan benda. Begitulah pendapat GM
Padahal, dalam perspektif Islam, Allah sendiri yang menyebut dirinya satu, esa, tunggal atau ahad, sebagaimana bisa ditemui pada Al-Qur’an al-Kariem surat ke-112 (Al-Ikhlaash): Qul huwallaahu ahad.
قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، اللهُ الصَّمَدُ ، لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُواً أَحَدُ
1. Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa.
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
4. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (QS Al-Ikhlash/ 112: 1, 2, 3, 4).
Masa’ sih, GM yang konon beragama Islam tidak pernah membaca surat Al-Ikhlash. Kalau buku-buku yang tergolong ‘berat’ saja ia sempat baca, masak sih surat sependek itu seumur hidupnya tidak sempat terbaca.
Baik GM pernah membaca surat Al-Ikhlash maupun tidak, GM telah berfatwa tentang hal yang sangat amat besar dalam agama, yakni tentang kemusyrikan. Dan yang amat sangat fatalnya, “fatwa” nya itu justru menjatuhi hukum musyrik bagi setiap orang yang bertauhid, yang mengimani bahwa Allah itu satu. Perkataan GM: “…Ketika kita mengatakan ‘Tuhan itu Satu’, kita sebenarnya telah menyekutukan-Nya…” itu benar-benar kesesatan yang amat sangat tinggi. Itu tidak akan keluar dari mulut siapapun, kecuali dari orang yang jelas-jelas merusak agama. Apalagi masih berbau marxisme komunisme, maka jelas itu adalah suara orang yang sejatinya anti agama.
Boleh jadi, GM memang tidak pernah sama sekali membaca surat sependek itu. Kalau benar demikian, tentu amat sulit bagi kita untuk menilai ke-Islam-an GM? Sebenarnya Islam tidak diuntungkan oleh ke-Islam-an GM dan keluarganya. Sebaliknya, Islam juga tidak dirugikan bila GM dan sanak-saudaranya memilih agama lain atau memilih atheisme, marxisme, komunisme sekalipun. Boleh jadi, ketidak-Islam-an GM justru akan lebih baik bagi Islam dan umat Islam.
GM mau pilih atheisme, silakan. Mau pilih marxisme, silakan. Mau pilih komunisme, silakan. Umat Islam tidak akan peduli, dan sama sekali tidak dirugikan. Kalau itu sudah menjadi pilihannya, mungkin GM akan berurusan dengan aparat negara. Karena, paham-paham tadi bertentangan dengan ideologi negara. Sejak era kepemimpinan Gus Dur, para penganut atheisme, marxisme, komunisme menjadi leluasa membincangkan paham-paham yang bertentangan dengan ideologi negara tersebut. Media massa nasional seperti Kompas, MBM Tempo, tidak takut-takut mempublikasikan tulisan-tulisan yang mempropagandakan paham-paham tadi.
Kalau keleluasaan itu masih berlanjut di era kepemimpinan Megawati, masih bisa dipahami, karena Soekarno –bapaknya Megawati– meski tidak mengakui berpaham kiri, namun pada masa kepemimpinannya sangat men-support gerakan kiri. Bila hal itu menurun kepada putrinya, tentu bisa dipahami walaupun amat sangat disayangkan.
Namun, tentu sangat tidak bisa dimengerti bila di era kepemimpinan SBY keleluasaan seperti itu masih tetap terjaga, bahkan kian berani. Padahal, SBY adalah Jenderal TNI bintang empat yang saptamargais, yang seharusnya sensitif dengan paham-paham yang bertentangan dengan ideologi negara. Apalagi, mertua SBY –Jenderal Sarwo Edhie Wibowo– adalah tokoh terkenal yang gigih memberangus tokoh-tokoh PKI di tahun 1960-an.
Kalau GM ditanya, apakah dia penganut atheis, pasti GM akan menjawab “tidak” dengan tegas seraya memposisikan sebagai penyerang atheisme. Bisa juga GM akan memberikan jawaban dengan makna yang tidak benderang: “… itu mengherankan sekali sebab menurut saya, atheis itu bermula dari kesulitan bahasa dan kemudian karena kebuntuan. Dan kalau kita baca buku Christopher Hitchens, juga karena sedikit kepongahan…” Sebagaimana dikemukakan GM pada sebuah forum diskusi.
Tetapi, mengapa GM gemar sekali mempublikasikan tulisan-tulisan yang bertema seperti itu? Kemungkinan GM sedang mencontoh cara-cara tukang obat pinggir jalan, yang pada kemasan obatnya dicantumkan peringatan berupa “bagi yang sedang hamil, jangan mengkonsumsi obat ini, karena dapat membunuh janin dalam kandungan”. Peringatan itu justru untuk ‘menganjurkan’ mereka yang hendak membunuh janinnya dengan mengkonsumsi obat yang dijual. Atau, meski tidak benar-benar manjur dapat membunuh janin, setidaknya kepada mereka yang sudah punya niat seperti itu, akan terdorong membeli obat tersebut.
Begitulah kami memahami GM, meski secara lisan dan tersurat ia terkesan menyerang atheisme, namun sesungguhnya ia sedang mempromosikannya dengan cara-cara yang dapat mengagumkan sejumlah anak muda. Bahkan, ada yang menjadikan kumpulan tulisan GM layaknya “kitab suci” segala. (haji/tede/ nahimunkar.com)
***
“Dawam Rahardjo, Goenawan Mohammad, dan Israel”
Selasa, 02 Mei 2006
Goenawan mendapat penghargaan Dan David Prize dari Israel. Adakah hubungannya dengan Liberalisasi Islam di Indonesia? Baca Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini ke-145
Oleh: Adian Husaini
Sudah bukan rahasia lagi bahwa Dawam Rahardjo adalah promotor dan pembela Ahmadiyah yang sangat gigih, selama berpuluh-puluh tahun. Namun, dia tetap mengaku bukan orang Ahmadiyah, tetapi tetap orang Muhammadiyah. Ketika jumpa pers Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan beragama dan Berkeyakinan di Markas Jaringan Islam Liberal, Jalan Utan Kayu 68 H, Kamis
27/4/2006, Dawam menegaskan:
“Saya bukan Ahmadiyah. Saya heran orang menyangka saya Ahmadiyah. Saya masih Muhammadiyah. Secara state of mind, saya masih Muhammadiyah. Namun saya tak bisa mengatasnamakan Muhammadiyah. Sikap saya di sini, adalah sikap yang pluralis. Menginginkan kerukunan antar umat beragama.”
Benarkah Dawam Rahardjo masih Muhammadiyah? Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Din Syamsuddin pernah menyatakan, bahwa Dawam Rahardjo sudah mengeluarkan dirinya sendiri dari Muhammadiyah. Namun, pernyataan Din itu tidak secara tegas menyebutkan adanya pemecatan resmi dari PP Muhammadiyah terhadap Dawam Rahardjo. Padahal, dalam berbagai kesempatan, seperti dalam demonstrasi menentang RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi di Bunderan HI, 22 April 2006, Dawam masih disebut sebagai ‘wakil Muhammadiyah’.
Sebagai pengurus Majlis Tabligh PP Muhammadiyah, saya sering mendapatkan pertanyaan dari kalangan umat Islam di berbagai daerah, bagaimana sebenarnya kedudukan Dawam Rahardjo dalam Muhammadiyah. Apakah masih dibenarkan dia menyandang kartu anggota Muhammadiyah,
sementara secara keimanan dia sudah melanggar keyakinan dasar Muhammadiyah tentang kenabian, sebagaimana diputuskan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah. Sering sekali ada kalangan tokoh-tokoh umat yang mendesak, agar PP Muhammadiyah secara tegas mengeluarkan Dawam Rahardjo dari Muhammadiyah.
Memang, Majelis Tarjih Muhamamdiyah sudah memutuskan, bahwa orang yang mengimani kenabian seseorang sesudah Nabi Muhammad saw, adalah KAFIR. Dalam putusan Majelis Tarjih dikatakan, “Barangsiapa mengimankan kenabian seseorang sesudah Nabi Muhammad saw, maka harus diperingatkan dengan firman Allah: “Muhammad itu bukannya bapak seseorang dari padamu, tetapi ia Pesuruh Allah dan penutup sekalian Nabi.”
Dan sabda Rasul-Nya: “Dalam ummatku akan ada pendusta-pendusta semua mengaku dirinya nabi, padahal aku ini penutup sekalian Nabi, yang tidak ada Nabi sesudahku.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaihi dari Tsauban).
Begitu juga sabda Nabi: “Perumpamaanku dan sekalian Nabi sebelumku adalah ibarat seorang yang mendirikan gedung. Maka diperbaguskan dan diperindahkan bangunan itu kecuali satu bata (yang belum dipasang) pada salah satu penjuru-penjurunya, maka orang-orang mengelilinginya dengan heran dan katanya: “Mengapakah bata ini tidak dipasang?” Sabda Rasulullah: “Aku inilah bata itu, dan aku inilah penutup sekalian Nabi.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitab Shahihnya dari Abu Hurairah); dan banyak lagi hadits lainnya yang menerangkan dengan jelas, bahwa tak ada Nabi sesudah Nabi Muhammad saw.
“Jikalau orang tidak menerima dan tidak mempercayai ayat dan hadits tersebut maka ia mendustakannya; dan barangsiapa mendustakan, maka kafirlah ia,” demikian keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, seperti ditulis dalam buku Himpunan Putusan Tarjih, yang diterbitkanoleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Putusan Majelis Tarjih itu begitu jelas dan gamblang. Meskipun tidak menyebut Ahmadiyah, tetapi semua orang tahu, bahwa Ahmadiyah mengimani Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad saw. Maka, sesuai keputusan tersebut, di mata Muhammadiyah, Ahmadiyahjelas berada di luar Islam.
Maka, adalah sangat aneh, jika Dawam Rahardjo masih terus mengaku sebagai orang Muhammadiyah, tetapi membela habis-habisan keyakinan kaum Ahmadiyah. Mestinya, sebagai seorang yang sudah diberi gelar Profesor, Dawam mempunyai pendirian yang tegas dalam keyakinannya, memilih salah satu : Ahmadiyah atau Muhammadiyah.
Kaum Muslim sudah sangat kenal siapa Dawam Rahardjo sebenarnya, dan bagaimana hubungan pribadinya dengan Ahmadiyah. Sebagai contoh, tahun 2000, dia menjadi promotor kunjungan Khalifah Ahmadiyah Tahir Ahmad ke Indonesia. Dia menggelar berbagai acara untuk mempromosikan Ahmadiyah. Misalnya, pada 29 Juni 2000, dia menyelenggarakan acara Dialog Pakar Islam, di salah satu hotel di Jakarta, yang menghadirkan Tahir Ahmad.
Sikap pimpinan Muhammadiyah terhadap kelompok Ahmadiyah selama ini sebenarnya sudah cukup jelas.
Dalam acara Munas VII Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jakarta, Juli 2005, Din Syamsuddin yang juga wakil ketua umum MUI, dan waktu itu bertindak sebagai Ketua Sidang Pleno, juga mengesahkan keluarnya rekomendasi Munas MUI, “MUI mendesak pemerintah menindak tegas munculnya ajaran sesat dan membubarkannya karena meresahkan masyarakat, seperti Ahmadiyah, LDII.”
Rekomendasi itu juga menyatakan : “MUI supaya melakukan kajian ktitis terhadap Jaringan Islam
Liberal dan sejenisnya yang berdampak pendangkalan akidah.” Bahkan, tegas MUI, ‘’MUI wajib bersih dari unsur aliran sesat dan pendangkal akidah!” (Lihat, Majalah GATRA, 1 Agustus 2005).
Bagi para pengkaji ajaran Jemaat Ahmadiyah, tidak sulit untuk menemukan unsur-unsur penodaan agama Islam yang dilakukan oleh kaum Ahmadiyah.
Kitab Suci-nya orang Ahmadiyah, Tadzkirah, begitu banyak memuat kalimat-kalimat yang ’memelintir’’ ayat-ayat dalam Kitab Suci al-Quran. Sebagai contoh : ”Katakanlah, –wahai Mirza Ghulan Ahmad– “Jika kamu benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku”. (Kitab Suci Tadzkirah hlm. 630). Juga, ada kalimat : “Dan kami tidak mengutus engkau – wahai Mirza Ghulam Ahmad- kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam”. (Kitab Suci Tadzkirah hlm. 634). (Diterjemahkan dari teks bahasa Arab oleh LPPI).
Umat Islam yang memahami Al-Quran, akan dengan mudah memahami, bahwa ayat-ayat itu adalah pemelintiran dari ayat-ayat dalam Kitab Suci al-Quran. Bagi umat Islam, tindakan mengacak-acak dan merusak al-Quran adalah tindakan perusakan agama yang sangat serius. Wajar, jika umat Islam tidak rela al-Qurannya dirusak. M.
Amin Jamaluddin, ketua LPPI, pernah mengungkap pertanyaan menarik kepada sejumlah anggota Komnas HAM yang membela kebebasan beragama : ‘’Menurut Anda, apa boleh seseorang menciptakan lagu yang syairnya mencampur aduk syair lagu Indonesia Raya dengan syair lagu Gundhul-gundhul Pacul ?’’
Bagi bangsa Indonesia, lagu kebangsaan Indonesia Raya, tentunya tidak boleh dirusak. Itu lagu Indonesia Raya yang merupakan karangan Wage Rudolf Supratman.
Apalagi, Al-Quran bukanlah karangan manusia, tetapi Kalamullah. Tentu, sangat wajar, jika umat Islam tidak rela, ada yang mengacak-acak al-Quran sebagaimana dilakukan oleh Mirza Ghulam Ahmad dan pengikut Ahmadiyah. Karena itulah, umat Islam memandang kesalahan Ahmadiyah dalam menodai agama Islam sebagai hal yang sangat serius. Ada perbedaan yang mendasar antara Ahmadiyah dengan Islam.
Harian Indopos (8 September 2005), memuat pernyataan Kepala Dakwah Jemaat Ahmadiyah Indonesia, setelah berhasil mengajak seluruh keluarganya berbaiat dan berjanji setia kepada Nabi Mirza Ghulam Ahmad, yang mengatakan: “Alhamdulillah keluarga saya sekarang sudah seiman.
Semuanya kini menjadi pengurus Ahmadiyah.”
Sebagai orang yang mengaku state of mind-nya adalah Muhammadiyah, harusnya Dawam Rahardjo paham akan keputusan Majelis Tarjih tersebut, dan menjadikannya sebagai rujukan dalam berpikir dan melangkah.
Tapi, sayangnya, yang terjadi tidaklah demikian. Seharusnya, PP Muhammadiyah juga mengambil sikap yang tegas terhadap Dawam Rahardjo, sebab persoalannya sudah menyangkut masalah iman. Jadi, bukan masalah kecil. Tapi, masalah yang sangat mendasar.
Yang juga menarik untuk dicermati, Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan berkeyakinan mengadakan jumpa pers-nya di Utan Kayu 68 H, yang selama ini dikenal sebagai markas kelompok liberal, yang salah satu bos besarnya adalah Goenawan Muhammad.
Dari tempat inilah, gerakan penolakan anti RUU-APP digalang, terutama melalui Radio Utan Kayu. Dalam minggu ini, ada berita yang menarik bagi umat Islam berkaitan dengan Goenawan Mohammad. Yaitu, diberikannya penghargaan ‘Dan David Prize’ oleh Tel Aviv University kepada Goenawan Mohammad.
Seperti dilaporkan sejumlah media massa di Jakarta, pemberian penghargaan yang dilakukan oleh Universitas Tel Aviv (TAU) itu didasarkan kepada aktivitas Goenawan selama 30 tahun terakhir yang memperjuangkan kebebasan pers dan jurnalisme yang independen di Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbanyak di dunia.
Seperti telah diberitakan harian lokal Israel, “Haaretz”, edisi 18 April lalu, Goenawan Mohamad akan menerima hadiah uang senilai 250 ribu dolar AS (sekitar Rp 2,3 milyar).
“Dan David Prize” mulai diberikan pada tahun 2002 kepada para individual dan institusi yang telah
memberikan kontribusi unik dan besar dalam sektor kemanusiaan, termasuk di antaranya kontribusi di bidang ilmu pengetahuan alam, seni, dan bisnis dalam tiga dimensi waktu – lampau, kini, dan akan datang.
Penghargaan ini mengambil nama seorang pengusaha Yahudi yaitu Dan David. Penyelenggaraannya dilakukan oleh TAU secara rutin tiap tahun di Tel Aviv. Goenawan telah beberapa kali menerima penghargaan.
Setidaknya pada tahun 1992 ia sempat dianugerahi penghargaan Profesor Teeuw dari Universitas Leiden, Belanda. Pada tahun 1998, ayah dari dua anak ini menerima penghargaan internasional dalam hal Kebebasan Pers dari Komite Pelindung Jurnalis. Setahun kemudian, ia menerima penghargaan dari World Press Review, Amerika Serikat, untuk kategori Editor Internasional.
Popularitas GM dalam dunia pers tidaklah diragukan.Dia telah berjasa melahirkan mengkader banyak jurnalis di Indonesia. Tapi, terlepas dari soal itu, Goenawan juga sukses menggerakkan proses sekularisasi di Indonesia. Dia berperan besar ‘membesarkan’ Abdurrahman Wahid dan Nurcohlis Madjid, sebagai lokomotif liberalisasi Islam di Indonesia.
Seorang sahabat dekat Goenawan pernah bercerita kepada saya, bahwa apa yang Goenawan kerjakan terhadap Ulil Abshar Abdalla saat ini sama dengan apa yang dulu dia kerjakan terhadap Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid pada awal-awal 1970-an. Akhir-akhir ini, Goenawan sering menulis tentang Islam.
Tulisannya tentang RUU APP, yang berjudul ‘RUU Porno: Arab atau Indonesia’, menjadi salah satu inspirasi penting kaum Hindu di Bali dan para penentang RUU APP lainnya dalam menolak keras RUU tersebut.
Dalam perspektif ini, bisa dipahami, bahwa pihak Israel memilih Goenawan sebagai sosok yang layak diberi penghargaan. Liberalisasi Islam di Indonesia berhasil menggerus keimanan kaum Muslim dan dalam jangka panjang, memuluskan pembukaan hubungan Indonesia-Israel. Terlepas dari kualitas teknik jurnalistiknya, bisa dikatakan, Goenawan Mohammad merupakan sosok tokoh pers yang konsisten dalam meliberalkan Islam di Indonesia. Itulah pilihan hidup Goenawan.
Kita perlu menghormati dan mencermatinya, mengambil sisi positif dari prestasi jurnalistiknya.
Tetapi, pada saat yang sama, juga wajib meluruskan pendapat-pendapatnya yang keliru dan merusak Islam.
Bagi kita, amal kita, dan bagi Goenawan amal dia sendiri. Di dunia, Goenawan telah mendapatkan
balasannya. Kita sama-sama menunggu balasan di Akhirat nanti. Wallahu a’lam. (Jakarta, 28 April 2006/hidayatullah.com).
Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini merupakan hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com
Sumber: http://nahimunkar.com/innaa-liliahi-goenawan-mohamad-penjaja-marxisme-dan-paham-merusak-agama-dilibatkan-susun-kurikulum/
0 komentar:
Post a Comment